Hukum Dan Masyarakat


A.  Pengertian
Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam kehidupan bermasyarakat sedangkan Masyarakat  ialah sekelompok orang tertentu yang mendiami suatu daerah atau wilayah tertentu dan tunduk pada peratran hukum tertentu pula.
Faktor-faktor yang mempngaruhi berlakunya hukum dalam masyarakat, sehingga hukum tersebut berlaku efektif atau tidak. berikut hal-hal yang mempengaruhi berlakunya hukum dalam masyarakat :
1. Kaidah Hukum
didalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, hal itu diungkapkan sebagai berikut :
  • kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
  • kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat;
  • kaidah hukum berlaku secara filosofis, sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
2. Penegak Hukum
Penegak hukum atau orang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. artinya, dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seharusnya harus memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis tertentu yang menyangkut ruang lingkup tugas-tugasnya.
3. Sarana/ Fasilitas
Fasilitas/sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagaimana tugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. kalau peralatan yang dimaksud sudah ada, maka faktor-faktor pemeliharaannya juga sangat penting.
4. Warga Masyarakat
salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. warga masyarakat dimaksud, adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, derajat kepatuhan. secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyrakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
B. Profesi Hukum

profesi adalah sebutan atau jabatan dimana orang yang menyandangnya memiliki pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui latihan atau training atau sejumlah pengalaman lain atau mungkin diperoleh sekaligus kedua-duanya. Penyandang profesi dapat membimbing atau memberi nasihat dan saran atau juga melayani orang lain dalam bidang-nya sendiri.
Terdapat pula rumusan lain mengenai profesi hukum diantaranya menurut Aubert (1973) menurutnya profesi adalah pekerjaan pelayanan yang menerapkan seperangkat pengetahuan sistematika (ilmu) pada masalah-masalah yang sangat relevan bagi nilai-nilai utama dari masyarakat. Sedangkan menurut E. Sumarsono (1999) menjelaskan bahwa profesi adalah sebuah jabatan atau sebutan dimana orang yang menyandangnya mempunyai pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui training atau pengalaman lain, atau bahkan diperoleh melalui keduanya sehingga penyandang profesi dapat membimbing atau memberi nasihat/saran atau juga melayani orang lain dalam bidangnya sendiri dengan lebih baik bila dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya.
Kemudian menurut Franz Magnis-Suseno (1991) profesi dapat dibedakan atas profesi umum dan profesi yang luhur. Profesi umum adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian yang khusus. Persyaratan adanya keahlian yang khusus inilah yang membedakan antara pengertian dan pekerjaan, walaupun memang sukar mencari garis pemisah yang tajam antara keduanya. Profesi yang luhur adalah profesi yang pada hakikatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat, meskipun mereka ini memperoleh nafkah, namun nafkah bukan tujuan utama.

Konsep Etika Profesi
            Ada dua konsep etika profesi hukum yang saat ini cukup mendominasi dalam menghadapi modernisasi atau proses pergeseran dari hukum ‘klasik’ menuju hukum ‘modern’ seperti telah dijelaskan di atas. dua konsep tersebut lahir dari ahli-ahli teori hukum di Amerika. Meski begitu, bukan berarti dua konsep ini memiliki pandangan yang sejalan. Justru sebaliknya. Masing-masing konsep dimaksud justru telah memilih dua kutub berseberangan dalam menghadapi modernisasi.
            Konsep yang pertama adalah konsep yang diutarakan oleh Anthony Kronman dalam bukunya The Lost Lawyer (1993). Kronman menggambarkan seorang profesional hukum yang ideal sebagai seorang lawyer statesman. Profesional hukum tersebut harus memiliki tiga elemen pokok berikut ini:
1. kecakapan teknis yuridis,
2. sifat yang terpuji,
3. serta kebijaksanaan yang membumi (phronesis).

Subyek Hukum Profesi Hukum
            Hingga saat ini beberapa subyek hukum yang diperlengkapi dengan etika profesi hukum meliputi :
1. hakim
2. penasihat hukum (Advokat, Pengacara)
3. notaries
4. jaksa
5. polisi

Ciri Khas Profesi
1. suatu bidang yang terorganisasi dari materi intelektual yang terus menerus berkembang dan diperluas.
2. suatu teknik intelektual
3. penerapan praktis dari teknik intelektual pada urusan praktis.
4. suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi.
5. beberapa standar dan pernyataan tentang etika profesi yang dapat diselenggarakan.
6. kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri
7. asosiasi anggota profesi yang akrab dengan komunikasi yang erat antar anggota.
8. pengakuan sebagai profesi.
9. perhatian yang professional dalam pekerjaan profesi dan adanya rasa bertanggungjawab.
10. hubungan yang erat dengan profesi lain.

C.  Hukum Dan Perubahan Sosial
            Hubungan antara hukum dan perubahan sosial bersifat timbal balik, dan hukum dapat dilihat sebagai pengaruh dan yang menyebabkan perubahan social, dalam bagian ini, hukum akan dianggap hanya sebagai alat atau instrument aktif untuk membimbing dan membentuk perilaku masa depan dan bentuk-bentuk sosial-yaitu, sebagai strategi perubahan sosial. Meskipun ide-ide Marx, Engels, dan Lenin hukum yang epiphenomenon masyarakat kelas borjuis ditakdirkan untuk menghilang atau runtuh dengan munculnya revolusi, UNI Soviet berhasil membuat perubahan besar dalam masyarakat dengan menggunakan undang-undang.
Pengakuan terhadap supremasi hukum sebagai strategi perubahan menjadi lebih menonjol dalam masyarakat kontemporer. Hal itu berlaku secara umum bahwa hukum semakin tidak hanya mengartikulasikan tetapi menetapkan jalan untuk perubahan social yang besar dan perubahan sosial yang berusaha dilakukan melalui hukum adalah sifat dasar dari dunia modern. Dror berpendapat hukum secara tidak langsung memainkan peran penting dalam perubahan sosial dengan membentuk berbagai institusi sosial, yang pada gilirannya berdampak langsung pada masyarakat.
Dror berpendapat bahwa hukum memberikan pengaruh langsung terhadap perubahan sosial, pada umumnya dilakukan dengan mempengaruhi atau mengintervensi sesuatu yang memungkinkan perubahan dalam berbagai institusi sosial.
Pada semua masyarakat modern, setiap kumpulan undang-undang dan undang-undang yang didelegasikan itu penuh dengan ilustrasi penggunaan hukum secara langsung, sebagai alat untuk perubahan sosial yang diarahkan. Perspektif yang agak berbeda pada hukum dalam perubahan sosial disajikan oleh L. Friedman. Ia mengacu pada perubahan melalui hukum dalam hal dua jenis: Perencanaan dan Gangguan. Perencanaanmengacu pada pembangunan arsitektur, dalam arti bentuk-bentuk baru dalam tatanan sosial dan interaksi sosial. Gangguan mengacu pada pemblokiran atau perbaikan sistem hukum yang ada dan dapat membawa pada perubahan social yang positif atau negative, tergantung dari sudut pandang seseorang dalam melihatnya.
William M. Evan dengan jelas mengartikulasikan bahwa, Sebagai instrumen perubahan sosial, hukum memerlukan dua proses yang saling terkait. Yakni, pelembagaan dan internalisasi pola perilaku. Dalam konteks ini, pelembagaan pola perilaku berarti pembentukan norma dengan ketentuan untuk penegakan hukum, dan internalisasi pola perilaku berarti penggabungan satu nilai atau beberapa nilai yang tersirat dalam undang-undang. Hukum dapat mempengaruhi perilaku secara langsung hanya melalui proses pelembagaan. Jika, institusionalisasi ini berhasil pada gilirannya dapat memfasilitasi internalisasi sikap atau kepercayaan.
Namun, sejauh mana dampak hukum itu dapat terasa dan sejauh mana hukum itu relevan dengan suatu keadaan atau hanya berlaku dalam suatu keadaan tertentu. Ketentuan berikut dapat dijadikan garis besar pada efektifitas hukum sebagai strategi perubahan sosial. Pertama, hukum harus berasal dari sumber otoritatif dan prestise. Kedua, hukum harus memperkenalkan pemikiran dalam istilah yang dimengerti dan kompatibel dengan nilai-nilai yang ada. Ketiga, para pendukung perubahan harus membuat referensi bagi masyarakat lain atau negara-negara lain, di mana masyarakat itu ada dan hukum itu berlaku. Keempat, supremasi hukum harus menunjukkan ke arah pembuatan perubahan dalam waktu yang relatif singkat. Kelima, mereka (para penegak hukum) harus sangat berkomitmen terhadap perubahan undang-undang atau hukum yang di maksud. Keenam, pelaksanaan hukum harus mencakup sanksi-sanksi positif dan negatif. Ketujuh, supremasi hukum harus masuk akal, tidak hanya dalam hal sanksi-sanksi yang diberikan tetapi juga dalam perlindungan hak-hak orang-orang yang melanggar hukum. (Evan, 1965: 288-291)

D.  Kultur Hukum
Menurut Friedman, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, dan bukan seperti ikan hidup yang berenang di laut. Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau yang menurut Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.
Menurut Lawrence Friedman budaya hukum dibedakan menjadi dua macam. Pertama internal legal culture, yakni kultur hukumnya para lawyer’s dan judged’s dan exsternal legal culture, yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya. Semua kekuatan sosial akan mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Sikap masyarakat, salah satunya
tidak melaksanakan produk hukum karena masyarakat mpunyai budaya hukum sendiri. Hukum sebagai sistem nilai dalam masyarakat kadang dipatuhi. Dalam suatu komunitas hukum kadang-kadang tidak selalu dipatuhi.
            Berbicara masalah hukum, pada dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, perlu dipahami terlebih dahulu bidang pekerjaan hukum. Sedikitnya ada (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh hukum yaitu:
1) Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan menunjukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan.
2) Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan kekuasaan atau siapa berikut prosedurnya.
3) Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
4) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala ada. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan menunjukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan.
            Dari 4 (empat) pekerjaan hukum tersebut di atas, menurut Satjipto Raharjo secara sosiologis dapat dilihat dari adanya 2 (dua) fungsi utama hukum yaitu :
1) Social Control (Kontrol Sosial)
Social Control merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Termasuk dalam lingkup kontrol social ini adalah :
a) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang.
b) Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat.
c) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial.

2) Social Engineering (Rekayasa Sosial) Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum.

            Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat di masa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat Undang-Undang. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat.
            Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat sesungguhnya terdiri dari suatu kompleks tatanan, yaitu terdiri dari sub-sub tatanan yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan, dengan demikian ketertiban yang terdapat dalam masyarakat itu senantiasa terdiri dari ketiga tatanan tersebut Keadaan yang demikian ini memberikan pengaruhnya tersendiri terhadap masalah efektivitas tatanan dalam masyarakat. Efektivitas ini bisa diiihat dari segi peraturan hukum, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara orang-orang didasarkan pada hukum atau tatanan hukum.
            Secara singkat, menurut Lawrence M. Friedman cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut :
1) Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin;
2) Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu;
3) Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.

E. Bantuan Hukum
Sebelum adanya Undang-Undang Bantuan Hukum, terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Di dalam Peraturan tersebut, memberikan pengertian mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma yaitu jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam bantuan hukum terdapat beberapa unsur, yaitu:
  1. penerima bantuan hukum adalah fakir miskin atau orang yang tidak mampu secara ekonomi;
  2. bantuan hukum diberikan baik di dalam maupun di luar proses peradilan;
  3. bantuan hukum diberikan baik dalam lingkup peradilan pidana, perdata, maupun tata usaha negara;
  4. bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma.
Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa PP 83/2008, secara substantif, tidak mengatur bantuan hukum; melainkan mengatur bagaimana advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Dengan demikian, subyek dari PP 83/2008 adalah advokat, bukan bantuan hukum. Oleh karena itu, sebelum diundangkannya UU ini belum terdapat definisi bantuan hukum secara terpat. Maka, setelah disahkannya UU Bantuan Hukum tanggal  4 oktober 2011 terdapat pengertian menurut Undang-Undang Bantuan Hukum secara jelas menurut hukum. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Berdasarkan Undang-Undang ini, Bantuan hukum merupakan pekerjaan jasa yang bersifat professional yang berarti bahwa untuk melakukan pekerjaan tersebut diperlukan suatu pendidikan khusus dan keahlian khusus. Selain itu, Bantuan hukum merupakan suatu hak yang dapat dituntut oleh setiap subjek hukum ketika ia memerlukannya.
            Di dalam pasal 5 Undang-Undang Bantuan Hukum ditegaskan bahwa penerima bantuan hukum  meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak-hak dasar tersebut adalah  hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. Sedangkan di dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa syarat pemberi bantuan hukum meliputi :
  1. berbadan hukum;
  2. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;
  3. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
  4. memiliki pengurus; dan
  5. memiliki program bantuan hukum.
Selain itu di dalam Pasal 9 Undang-Undang inipula dijelaskan hak Pemberi bantuan Hukum yaitu:
  1. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum;
  2. melakukan pelayanan bantuan hukum;
  3. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum;
  4. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
  5. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  6. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan
  7. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum.
Dalam melakukan tugasnya, menurut Pasal 10 UU Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk :
  1. melaporkan kepada Menteri tentang program bantuan hukum;
  2. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
  3. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bantuan hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a;
  4. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang; dan
  5. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang- Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum. dari  dan tanggung jawab dari pmberi bantuan hukum
Asas dan tujuan bantuan hukum
Berdasarkan pasal 2 UU Bantuan Hukum dilaksanakan berdasarkan asas :
  1. keadilan;
  2. persamaan kedudukan di dalam hukum;
  3. keterbukaan;
  4. efisiensi;
  5. efektivitas; dan
  6. akuntabilitas
 Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk ( Pasal 3 UU Bantuan Hukum)
  1. Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum (fakir miskin) untuk mendapatkan akses keadilan;
  2. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
  3. Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
  4. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan
            Selain itu, di dalam lawasia Conference III (1973), terdapat 3 fungsi bantuan hukum yaitu sebgai sarana dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan kemungkinan melakukan penuntutan terhadap apa yang menjadi haknya, memberi informasi agar timbul kesadaran masyarakat, serta sebagai sarana untuk mengadakan pembaharuan.

Arah Kebijakan Bantuan Hukum
            Akses keadilan sebagai salah satu hak dasar yang bersifat universal, yang ditujukan bagi masyarakat kurang mampu dan termarjinalisasi, agar mereka dapat menggunakan sistem hukum untuk meningkatkan hidupnya. Karena itu pengalaman di berbagai negara dalam memberikan bantuan hukum bagi warga negara yang tergolong miskin atau tidak mampu adalah relevan dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Hal ini tentu berlaku bagi Negara Republik Indonesia yang juga merupakan negara hukum yang demokratis (konstitusionalisme).
Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam masyarakat telah terdapat berbagai lembaga bantuan hukum baik berupa lembaga swadaya masyarakat maupun yang dikelola oleh fakultas hukum di perguruan tinggi yang telah memberikan bukti konkret dan kontribusi luar biasa terhadap warga negara Indonesia yang miskin atau tidak mampu untuk mendapatkan akses keadilan.
Selain itu, terdapat juga ribuan advokat yang menurut UU 18 / 2003, diwajibkan untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang yang tidak mampu. Akan tetapi, mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa serta jumlah penduduk miskin yang mencapai 32 juta jiwa serta wilayah Indonesia yang sedemikian luas, akses keadilan bagi mereka yang tergolong miskin atau tidak mampu masih jauh dari tingkat yang ideal.
Secara kuantitatif, rasio antara advokat dan jumlah penduduk Indonesia saat ini masih sangat timpang. Menurut catatan resmi di Mahkamah Agung Republik Indonesia, jumlah advokat sampai dengan tahun 2005 berjumlah kurang dari 30.000 orang, bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa.
Tujuan penyusunan kebijakan Bantuan Hukum adalah untuk menjamin dan memenuhi hak bagi fakir miskin untuk mendapatkan akses keadilan, baik di dalam maupun di luar proses peradilan; mewujudkan hak konstitusional warga negara sesuai dengan prinsip persamaan di hadapan hukum: menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Blogger
Disqus

No comments