Hukum Kehutanan

A.  Pengertian
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Menurut M. Hariyanto Hukum Kehutanan adalah Kumpulan peraturan atau kaedah tentang kebolehan, keharusan atau larangan; baik tertulis maupun tidak tertulis; yang mengatur hubungan antara: negara (pemerintah) dengan hutan, kawasan hutan, hasil hutan, tumbuhan dan satwa liar;  negara dengan orang yang terkait dengan hutan, kawasan hutan, hasil hutan, tumbuhan dan satwa liar; orang dengan hutan, kawasan hutan, hasil hutan. tumbuhan dan satwa liar, bersifat memaksa (imperatif); dan sanksi bagi yang melanggarnya.
Sedangkan Menurut Idris Sarong Al Mar, Hukum kehutanan adalah serangkaian kaidah-kaidah/norma-norma (tidak tertulis) dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa hukum kehutanan meliputi:
(1)    adanya kaidah hukum kehutanan baik tertulis maupun tidak tertulis;
(2)    mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan;
(3)    mengatur hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan kehutanan.

B.  Jenis-Jenis Hutan
Didalam Pasal 5 UU No.  41 Tahun 1999 Jo UU Nomor  19 Tahun 2004,  ditentukan ada empat jenis hutan, yaitu berdasarkan:
 (1) statusnya,
(2) fungsinya,
(3) tujuan khusus, dan
(4) pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan yang luas di dunia. Luas hutan tersebut dulu mencapai 113 juta hektar dan terus berkurang drastis akibat kebodohan oknum pemerintah dan penjahat yang selalu haus uang dengan membabat dan menggunduli hutan demi mendapat keuntungan yang besar tanpa melihat dampak bagi lingkungan global.

Brikut di bawah ini adalah pembagian macam-macam/jenis-jenis hutan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia disertai arti definisi dan pengertian :

1. Hutan Bakau
Hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai berlumpur. Contoh : pantai timur kalimantan, pantai selatan cilacap, dll.

2. Hutan Sabana
Hutan sabana adalah hutan padang rumput yang luas dengan jumlah pohon yang sangat sedikit dengan curah hujan yang rendah. Contoh : Nusa tenggara.

3. Hutan Rawa
Hutan rawa adalah hutan yang berada di daerah berawa dengan tumbuhan nipah tumbuh di hutan rawa. Contoh : Papua selatan, Kalimantan, dsb.

4. Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropis adalah hutan lebat / hutan rimba belantara yang tumbuh di sekitar garis khatulistiwa / ukuator yang memiliki curah turun hujan yang sangat tinggi. Hutan jenis yang satu ini memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, bertanah subur, humus tinggi dan basah serta sulit untuk dimasuki oleh manusia. Hutan ini sangat disukai pembalak hutan liar dan juga pembalak legal jahat yang senang merusak hutan dan merugikan negara trilyunan rupiah. Contoh : hutan kalimantan, hutan sumatera, dsb.

5. Hutan Musim
Hutan musim adalah hutan dengan curah hujan tinggi namun punya periode musim kemarau yang panjang yang menggugurkan daun di kala kemarau menyelimuti hutan.

Di samping itu hutan terbagi / dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu :

1. Hutan Wisata
Hutan wisata adalah hutan yang dijadikan suaka alam yang ditujukan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan serta hewan / binatang langka agar tidak musnah / punah di masa depan. Hutan suaka alam dilarang untuk ditebang dan diganggu dialih fungsi sebagai buka hutan. Biasanya hutan wisata menjadi tempat rekreasi orang dan tempat penelitian.

2. Hutan Cadangan
Hutan cadangan merupakan hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Di pulau jawa terdapat sekitar 20 juta hektar hutan cadangan.

3. Hutan Lindung
Hutan lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai.

4. Hutan Produksi / Hutan Industri
Hutan produksi yaitu adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hutan produksi dapat dikategorikan menjadi dua golongan yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan rimba adalah hutan yang alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja dikelola manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan rimba yang diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem tebang pilih dengan memilih pohon yang cukup umur dan ukuran saja agar yang masih kecil tidak ikut rusak.
C.  Asas Penyelenggaraan Kehutanan
  1. Manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
  2. Kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.
  3. Kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi.
  4. Keterbukaan, dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
  5. Keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.

D.    Tujuan Hukum kehutanan
Tujuan hokum kehutanan adalah melindungi, memanfaatan, dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari.Hukum kehutanan mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena hokum kehuatan ini hanya mengatur hal-hal yang berakaitan dengan hutan dan kehutanan.Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka akan diberlakukan lebih dahulu adalah hokum kehutanan.Oleh karena itu, hokum hokum kehutanan disebut sebagai lex specialis, sedangkan hokum lainnya seprti agraria dan hokum lingkungan sebagai hokum umum (lex specialis derogate legi generalis)

E.    Status dan fungsi  hutan
1)      Status hutan
Menurut pasal 5 UU No 41 1999 tentang kehutanan, Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: 
·   hutan Negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
·   hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hak atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB).

2)      Fungsi hutan
Hutan mempunyai tiga fungsi, menurut pasal 6 ayat (1)  UU No 41  tahun 1999 tentang kehutanan  yaitu: 
1. Hutan Konservasi
Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam (Hutan dengan ciri khas tertentu, seperti satwa dan ekosistemnya) dan kawasan hutan pelestarian alam (hutan dengan ciri khas tertentu seperti taman nasional, tahura, taman wisata alam).

2) Hutan Lindung
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan

3)   Hutan Produksi
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonservasikan (HPK).

Secara umum fungsi hutan adalah untuk kehidupan Sebagai bagian dari cagar lapisan biosfer, hutan memiliki banyak fungsi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan makhluk di muka bumi.Tak hanya manusia, hewan dan tumbuhan pun sangat memerlukan hutan untuk kelangsungan hidupnya.

F.   Manfaat Hutan Bagi Manusia dan Lingkungan

              Hutan memiliki banyak manfaat untuk kita semua. Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu kita jaga karena jika tidak maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang,  Manfaat Hutan Antara Lain:
1.    Hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang yang bernilai tinggi.
2.    Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal.
3.    Menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke luar negeri.
4.    Dapat menampung air hujan di dalam tanah
5.    Mencegah intrusi air laut yang asin
6.    Menjadi pengatur tata air tanah
7.    Mencegah erosi dan banjir
8.    Menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah
9.    sebagai wilayah untuk melestarikan kenaekaragaman hayati
G.   Faktor Yang Mempengaruhi Persebaran Hutan

1. Keadaan tanah
Daerah gurun pasir akan membentuk hutan yang berbeda dengan daerah tropis yang banyak hujannya.

2. Tinggi rendah permukaan tanah
Jenis hutan beserta isi tanaman dipengaruhi oleh suhu wilayah yang berbeda antara dataran tinggi dan dataran rendah.

3. Makhluk hidup
Manusia dapat menentukan di mana boleh ada hutan dan tidak boleh ada hutan.

4. Iklim
Iklim yang memiliki curah hujan tinggi akan membentuk hutan yang lebat seperti hutan hujan tropis.

H.    Sejarah hukum kehutanan di Indonesia
Pembahasan perkembangan hukum kehutanan Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga historika, yaitu pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa penjajahan Pemerintah Hindia Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.

1.      Sebelum Penjajahan
Pada masa sebelum penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hokum adat masing-masing komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat kemampuan tulis baca anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap masyarakat tersebut tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan. Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hokum adat. Iman Sudiyat menyimpulkan, Hukum Adat itu hukum yang terutama mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.
 Era zaman sebelum masuknya pengaruh asing (Zaman Malaio Polinesia), kehidupan masyarakat di nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Alam kesaktian tidak terletak pada alam kenyataan yang dapat dicapai dengan pancaindera, melainkan segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami menurut anggapan semata-mata terhadap benda kesaktian, paduan kesaktian, sari kesaktian, sang hyiang kesaktian, dan pengantara kesaktian. Pada masa itu, pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam proses menemukan dan memberikan hukuman.
Sedangkan pada zaman Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan). Raja tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang mengatur  hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang diperlukan raja ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila menyangkut tanah sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih dahulu. Hemat kami, inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa hutan dan segala isinya berada di bawah kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan, yang kemudian terus populer di sebagian besar wilayah nusantara.
Berbeda halnya dengan di Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078 M di Peurlak dan Kerajaan Pasai, maka semua tatanan kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, termasuk tatanan hukumnya. Hak tertinggi dalam penguasaan tanah dan hutan di Aceh bukanlah pada raja, melainkan pada Allah yang Maha Kuasa. Semua tanah dan hutan dalam wilayah kemukiman di Aceh selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah (hak Allah) atau uteun poeteu Allah. Setiap orang warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk desanya.[1][8]

2.      Masa Penjajahan
Didalam masa penjajahan terdapat 3 (tiga) masa antara lain:
a.    Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799)
Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang lebih populer dengan sebutan kompeni. Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan mereka.Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan. Pada waktu VOC mulai terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timberm extraction), para pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh VOC.
Sejak tahun 1620 kompeni mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan pemungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah sepuluh persen (10%). Pada tanggal 10 Mei 1678, kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say untuk menebang kayu di seluruh daerah sekitar Betawi, dan mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai
sepuluh persen. Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya alam (hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena penaklukan atau karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu keputusan yang dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon msampai ke pojok Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik (domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Tidak seorang pun, terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan.
Dari gambaran historis di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya kekuasaan VOC di Jawa telah menimbulkan implikasi pada beralihnya pemilikan dan penguasaan (domein) terhadap tanah (lahan) dari domein raja menjadi domeinnya kompeni. Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam kerajaannya.Namun pun demikian, hasil hutan berupa kayu masih dapat diperuntukkan bagi kepentingan raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan disekitarnya (gemeente).
Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam.Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan kompeni.
Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678 tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi antara etnis Cina dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah dalam bidang perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar izin HPH (hak pemanfaatan hasil hutan) dipegang oleh kelompok mereka hingga sekarang ini.Banyaknya kasus kerusakan hutan di berbagai daerah di nusantara ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha tersebut, yang senyatanya dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan tempat resapan air telah digunduli, maka pribumi, masyarakat adat di pedesaan dan kelompok marginal perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir.
Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah musnahnya hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan, harus minta izin kepada demang (petinggi) desa tersebut.

b.  Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942)
Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865. Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati.

c.       Masa penjajahan Jepang (1942-1945)
              Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturanperaturan Militer Jepang.
                   Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hokum kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening 1932)

3.      Masa setelah kemerdekaan
Dalam masa ini terbagi menjadi 3 masa, yaitu :
a)   Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965)
              Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan, antara tahun 1945-1950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto, mengalami sedikit komplikasi. Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang Pasifik segera saja “mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim dirinya secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di nusantara ini. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali kemudian diakui secara de facto.     
              Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya Indonesia – hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun.Produk perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku.

b)  Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998)
Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya

c)    Masa Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006)
Rezim Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).
Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang kehutanan mengadopsi sebagian ketentuan penyelesaian sengketa sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat kita lihat dan kita bandingkan antara ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
  1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
  2. sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
  3. telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:
1.    Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
2.    apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa.
Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:
“penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini”.

            Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang lingkungan hidup dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana, tetapi dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas.

            Dalam penjelasan umum undang-undang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi pada bidang hukum lain seperti sanksi administrasi, dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan demikian penggunaan hukum pidana baik pengenaan ancaman pidana maupun proses perkara pidana dalam ketentuan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup merupakan “senjata terakhir” (ultimum remedium).

            Berdasarkan penjelasan umum di atas, Koesnadi Hardjasumantri berpendapat bahwa penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakannya tindakan hukum tersebut di bawah ini:
1.    Aparat yang berwenang menjatuhkan sanksi administrasi sudah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tersebut tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi atau,
2.    Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme alternatif diluar pengadilan dalam bentuk musyawarah/perdamaian/ negosiasi/mediasi namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru kegiatan dapatdimulai/ instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup dapat digunakan.
Kedua syarat asas subsidiaritas dalam bentuk upaya tersebut di atas dapat dikesampingkan, apabila dipenuhi tiga syarat/kondisi tersebut di bawah ini:
  1. tingkat kesalahan pelaku relatif berat,
  2. akibat perbuatannya relatif besar,
  3. perbuatan pelanggaran menimbulkan keresahan masyarakat
Undang-undang kehutanan tidak menganut asas subsidiaritas dalam penggunakan instrumen hukum pidana untuk penyelesaian perkara pidana dibidang kehutanan, undang-undang kehutanan juga tidak mengatur mekanisme proses perkara pidana tersendiri, oleh karena itu proses perkara pidana pengangkutan hasil hutan kayu secara ilegal diselenggarakan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.


Rujukan
Abdul Muis Yusuf,  Hukum Kehutanan Di Indonesia, (Rineka Cipta, Jakarta  2011)
Pendapat Savigny ini dipengaruhi oleh pemikiran de Montesque dalam bukunya berjudul “LEsprit de Lois” yang mengemukakan adanya hubungan antara jiwa atau semangat (spirit) sesuatu bangsa dengan hukumnya. Lihat, Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, DasarDasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Iman Sudiyat, AsasAsas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 1985.
Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Alumni, Bandung, 1983
H.M. Yamin, Tatanegara Madjapahit Sapta Parwa I, Prapanca, Djakarta, tt, hlm. 67.
T.I. El Hakimy, Hukum Adat Tanah Rimba di Kemukiman Leupung Aceh Besar, Pusat Studi Hukum Adat dan Islam, FH Unsyiah,Banda Aceh , 1984.
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Chandra Pratama, Jakarta, 1995, hlm. 8. Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan & Pembangunan Bidang Kehutanan, Rajawali Pers, Jakarta 1999.




Blogger
Disqus

No comments